Jakarta, Amuntaipost.com - Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dibuat dengan semangat untuk memperbaiki kesejahteraan guru, meningkatkan kualitas, dan memberikan perlindungan, serta menghapus perlakuan diskriminasi terhadap guru.
Apa yang terjadi setelah enam tahun disahkannya UU guru tersebut?
Saat ini, sejumlah guru telah mengikuti program sertifikasi. Akan tetapi, belum seluruhnya dapat merasakan peningkatan kesejahteraan karena ada persyaratan teknis yang masih harus dipenuhi para guru tersertifikasi..
Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman mengungkapkan, beberapa problem teknis yang mempersulit para guru antara lain adalah tidak terpenuhinya beban kerja mengajar 24 jam tatap muka, syarat menjadi guru tetap di perguruan/sekolah swasta, dan status honorer pada guru-guru tidak tetap di sekolah-sekolah negeri dan swasta.
"Belum semua guru disertifikasi, tiba-tiba muncul kebijakan baru sertifikasi yang semula dengan sistem penilaian portofolio, kini menggunakan sistem pelatihan," kata Suparman, Kamis (24/11/2011), di Jakarta.
Apa yang terjadi setelah enam tahun disahkannya UU guru tersebut?
Saat ini, sejumlah guru telah mengikuti program sertifikasi. Akan tetapi, belum seluruhnya dapat merasakan peningkatan kesejahteraan karena ada persyaratan teknis yang masih harus dipenuhi para guru tersertifikasi..
Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman mengungkapkan, beberapa problem teknis yang mempersulit para guru antara lain adalah tidak terpenuhinya beban kerja mengajar 24 jam tatap muka, syarat menjadi guru tetap di perguruan/sekolah swasta, dan status honorer pada guru-guru tidak tetap di sekolah-sekolah negeri dan swasta.
"Belum semua guru disertifikasi, tiba-tiba muncul kebijakan baru sertifikasi yang semula dengan sistem penilaian portofolio, kini menggunakan sistem pelatihan," kata Suparman, Kamis (24/11/2011), di Jakarta.
Pemerintah harus menghentikan kebijakan yang menjadikan guru sebagai kelinci percobaan
Ia menjelaskan, perubahan sistem tersebut didasarkan pada penilaian bahwa kerap terjadi sejumlah kecurangan saat dilakukan pada saat proses penilaian portofolio. Padahal, menurutnya, jika dicermati kasus tersebut bukan hanya menunjukkan bobroknya kejujuran di kalangan guru, tetapi juga menunjukkan pemerintah yang secara sepihak melakukan perubahan sistem tanpa mengikutsertakan guru dalam proses perubahan kebijakan.
"Padahal UU guru mengamanatkan dengan tegas bahwa guru mempunyai hak untuk ikut serta dalam penentuan kebijakan pendidikan," ungkapnya.
Pada kenyataannya, menurut dia, hampir setiap kebijakan pendidikan, khususnya yang terkait dengan guru, pemerintah selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengambil kebijakan-kebijakan secara sepihak yang secara langsung atau tidak langsung dapat saja merugikan guru. Salah satu bukti pemerintah mengambil kebijakan secara sepihak adalah ketika mengubah kebijakan sertifikasi portofolio pada guru-guru senior berusia di atas 50 tahun dengan masa kerja minimal 20 tahun.
Padahal, lanjutnya, PP 74 tahun 2008 tentang guru mengamanatkan guru dengan usia dan masa kerja tersebut secara otomatis dapat mengikuti portofolio tanpa harus berkualifikasi S-1 maupun D-4 terlebih dahulu.
Selain itu, PP 74 tahun 2008 juga mengamanatkan bahwa guru dalam jabatan mengikuti program sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tetapi kenyataannya saat ini sistem tersebut dirubah secara sepihak oleh pemerintah dan mewajibkan semua guru mengikuti Pelatihan Sertifikasi, bahkan pelatihan tersebut diakhiri dengan ujian yang menyebabkan sejumlah guru tak lulus.
Ia menilai, secara sepintas kebijakan ini memang terkesan wajar. Terlebih kepiawaan pemerintah dalam membangun opini jika hal itu dilakukan demi untuk meningkatkan mutu guru.
"Padahal itu jelas pelanggaran terhadap peraturan pemerintah sendiri dan belum tentu menjamin peningkatan kualitas guru. Berapa banyak guru yang harus masuk karantina pelatihan dan kemudian meninggalkan jam mengajarnya di sekolah untuk memperjuangkan sertifikasi," urainya.
Untuk itu, ia mengusulkan jalan terbaik yang harus ditempuh pemerintah adalah bagaimana pemerintah pusat dan daerah dapat berkoordinasi untuk memberikan perlindungan kepada guru agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa dicampuri kepentingan-kepentingan yang tidak jelas.
Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional tahun 2011, DPP-FGII menyampaikan beberapa sikap yang diharapkan dapat menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, pemerintah diminta menghentikan semua kebijakan yang semakin mempersulit guru untuk mengembangkan diri, meningkatkan kesejahteraan dan kualitasnya.
Kedua, hendaknya pemerintah menghentikan tindakan-tindakan sepihak yang akan melahirkan kebijakan yang dapat merugikan guru dan pada akhirnya akan merugikan usaha-usaha guru untuk berperan melakukan perbaikan pendidikan nasional.
"Pemerintah harus menyertakan guru dan semua organisasi guru yang ada dalam setiap pengambilan kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan dan pengelolaan guru," kata Suparman.
Ketiga, pemerintah didesak untuk secepatnya merealisasikan perbaikan kondisi kerja guru sekolah swasta dan guru honorer di semua sekolah dengan memberikan insentif maslahat tambahan sebesar minimal UMR ditambah dengan jaminan negara atas Jamsostek untuk asuransi kesehatan, kecelakaan dan tunjangan hari tuanya.
"Pemerintah juga harus menghentikan kebijakan yang menjadikan guru sebagai kelinci percobaan," ujarnya.
Selanjutnya, FGII juga mendesak agar pemerintah melanjutkan program sertifikasi dengan penilaian portofolio. Dan meminta kepada Presiden RI untuk mengevaluasi kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) karena membuat peraturan tentang guru, khususnya yang terkait dengan program sertifikasi dan beban kerja guru yang dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang ditetapkan oleh Presiden RI.
"Padahal UU guru mengamanatkan dengan tegas bahwa guru mempunyai hak untuk ikut serta dalam penentuan kebijakan pendidikan," ungkapnya.
Pada kenyataannya, menurut dia, hampir setiap kebijakan pendidikan, khususnya yang terkait dengan guru, pemerintah selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengambil kebijakan-kebijakan secara sepihak yang secara langsung atau tidak langsung dapat saja merugikan guru. Salah satu bukti pemerintah mengambil kebijakan secara sepihak adalah ketika mengubah kebijakan sertifikasi portofolio pada guru-guru senior berusia di atas 50 tahun dengan masa kerja minimal 20 tahun.
Padahal, lanjutnya, PP 74 tahun 2008 tentang guru mengamanatkan guru dengan usia dan masa kerja tersebut secara otomatis dapat mengikuti portofolio tanpa harus berkualifikasi S-1 maupun D-4 terlebih dahulu.
Selain itu, PP 74 tahun 2008 juga mengamanatkan bahwa guru dalam jabatan mengikuti program sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tetapi kenyataannya saat ini sistem tersebut dirubah secara sepihak oleh pemerintah dan mewajibkan semua guru mengikuti Pelatihan Sertifikasi, bahkan pelatihan tersebut diakhiri dengan ujian yang menyebabkan sejumlah guru tak lulus.
Ia menilai, secara sepintas kebijakan ini memang terkesan wajar. Terlebih kepiawaan pemerintah dalam membangun opini jika hal itu dilakukan demi untuk meningkatkan mutu guru.
"Padahal itu jelas pelanggaran terhadap peraturan pemerintah sendiri dan belum tentu menjamin peningkatan kualitas guru. Berapa banyak guru yang harus masuk karantina pelatihan dan kemudian meninggalkan jam mengajarnya di sekolah untuk memperjuangkan sertifikasi," urainya.
Untuk itu, ia mengusulkan jalan terbaik yang harus ditempuh pemerintah adalah bagaimana pemerintah pusat dan daerah dapat berkoordinasi untuk memberikan perlindungan kepada guru agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa dicampuri kepentingan-kepentingan yang tidak jelas.
Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional tahun 2011, DPP-FGII menyampaikan beberapa sikap yang diharapkan dapat menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, pemerintah diminta menghentikan semua kebijakan yang semakin mempersulit guru untuk mengembangkan diri, meningkatkan kesejahteraan dan kualitasnya.
Kedua, hendaknya pemerintah menghentikan tindakan-tindakan sepihak yang akan melahirkan kebijakan yang dapat merugikan guru dan pada akhirnya akan merugikan usaha-usaha guru untuk berperan melakukan perbaikan pendidikan nasional.
"Pemerintah harus menyertakan guru dan semua organisasi guru yang ada dalam setiap pengambilan kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan dan pengelolaan guru," kata Suparman.
Ketiga, pemerintah didesak untuk secepatnya merealisasikan perbaikan kondisi kerja guru sekolah swasta dan guru honorer di semua sekolah dengan memberikan insentif maslahat tambahan sebesar minimal UMR ditambah dengan jaminan negara atas Jamsostek untuk asuransi kesehatan, kecelakaan dan tunjangan hari tuanya.
"Pemerintah juga harus menghentikan kebijakan yang menjadikan guru sebagai kelinci percobaan," ujarnya.
Selanjutnya, FGII juga mendesak agar pemerintah melanjutkan program sertifikasi dengan penilaian portofolio. Dan meminta kepada Presiden RI untuk mengevaluasi kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) karena membuat peraturan tentang guru, khususnya yang terkait dengan program sertifikasi dan beban kerja guru yang dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang ditetapkan oleh Presiden RI.
Courtesy of Kompas